I. LATAR BELAKANG
Berpikir ilmiah berbeda dengan berpikir biasa. Kebenaran yang menjadi tujuan ilmu, dicapai melalui sarana dan metode khusus , yang dinamakan metode ilmiah. Dalam dunia ilmu, dikenal beberapa sarana berpikir ilmiah, yakni bahasa, logika, matematika dan stastik. Bahasa sangat penting dalam pergaulan sehari-hari dan dunia keilmuan. Hanya manusia yang dapat berbahasa. Mungkin orang berkata : ada sejumlah jenis hewan yang bisa berbahasa, sebab itu berbahasa bukan monopoli manusia. Tetapi kita harus menjawab keberatan ini dengan berkata bahwa apa yang disinyalirkan sebagai bahasa, melainkan gejala prabahasa. Kekhasan manusia dengan bahasa ini menyebabkan manusia sering dinamakan animal symbolicum (hewan yang mengunakan symbol). Anda dapat membayangkan bagaimana jadinya kehidupan ilmu seandaniya tidak ada bahasa. Suatu penelitian pada hakekatnya dimulai dari hasrat keingintahuan manusia, merupakan anugerah Allah SWT, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang memerlukan jawaban atau pemecahannya, sehingga akan diperoleh pengetahuan baru yang dianggap benar. Pengetahuan baru yang benar tersebut merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh akal sehat dan berdasarkan fakta empirik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah.
PERMASALAHAN
Sesuai dengan keterkaitan dengan pemikiran yang terbentuk 3 jenis yakni pengertian (konsep), peryataan (proposisi), dan penalaran (reasoning), apakah penalara lebih rumit untuk di pahami terutama dalam prakteknya di bandingkan dengan dua pemikiran lainnya ?
II. PEMBAHASAN
Ada tiga bentuk pemikiran adalah pengertian (konsep), peryataan (proposisi), dan penalaran (reasoning). Pengerti adalah suatu yang abstrak. Pengertian terbentuk bersamaan dengan observasi empiris. Tepat tidaknya pengertian, bergantung pada tepat tidaknya observasi empiris. Pengertian disampaikan dalam wujud lambang, yakni bahasa. Dalam bahasa, lambang pengertian adalah kata. Kata sebagai fungsi pengertian disebut term. Tidak ada pengertian yang berdiri sendiri. Selalu ada rangkaian-rangkain pengertian. Dan rangkaian pengertian itulah yang disebur peryataan (proposisi), bisa dikatakan kalimat. Sebuah prosisi terdiri dari tiga unsur yaitu subyek, predikat dan kata penghubung. Prosisi dibedakan menjadi dua macam yakni proposisi empiric (proposisi dasar) dan proposisi mutlak. Untuk itu dibawah ini akan lebih terperinci tentang penalaran.
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Secara sederhana penalaran dapat di definisikan sebgai proses pengambilan kesimpulan berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya .
Contoh :
Logam 1 dipanasi dan memuai
Logam 2 dipanasi dan memuai
Logam 3 dipanasi dan memuai
Logam 4 dipanasi dan memuai
Dan seterunya
Jadi : semua logam yang dipanasi memuai
Konklusi dan premis
Dari contoh diatas dapat dikatakan bahwa penalaran ialah gerak pikiran dari proposisi 1 dan seterusnya, hingga proposisi terakhir (=kesimpulan). Jadi penalaran merupakan suatu proses pekiran. Sebuah penalaran terdiri atas premis dan kesimpulan. Premis dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor.
Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif
Pada penalaran deduktif, konklusi lebih sempit dan premis. Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Pada penalaran induktif, konklusi lebih luas dari premis. Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Kedua penalaran tersebut di atas (penalaran deduktif dan induktif), seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori (Heru Nugroho; 2001: 69-70). Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang disebut dengan reflective thinking atau berpikir refleksi. Proses berpikir refleksi ini diperkenalkan oleh John Dewey (Burhan Bungis: 2005; 19-20), yaitu dengan langkah-langkah atau tahap-tahap sebagai berikut :
• The Felt Need, yaitu adanya suatu kebutuhan. Seorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaannya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
• The Problem, yaitu menetapkan masalah. Kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need di atas, selanjutnya diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan atau kebutuhan tersebut, yaitu apa sebenarnya yang sedang dialaminya, bagaimana bentuknya serta bagaimana pemecahannya.
• The Hypothesis, yaitu menyusun hipotesis. Pengalaman-pengalaman seseorang berguna untuk mencoba melakukan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Paling tidak percobaan untuk memecahkan masalah mulai dilakukan sesuai dengan pengalaman yang relevan. Namun pada tahap ini kemampuan seseorang hanya sampai pada jawaban sementara terhadap pemecahan masalah tersebut, karena itu ia hanya mampu berteori dan berhipotesis.
• Collection of Data as Avidance, yaitu merekam data untuk pembuktian. Tak cukup memecahkan masalah hanya dengan pengalaman atau dengan cara berteori menggunakan teori-teori, hukum-hukum yang ada. Permasalahan manusia dari waktu ke waktu telah berkembang dari sederhana menjadi sangat kompleks; kompleks gejala maupun penyebabnya. Karena itu pendekatan hipotesis dianggap tidak memadai, rasionalitas jawaban pada hipotesis mulai dipertanyakan. Masyarakat kemudian tidak puas dengan pengalaman-pengalaman orang lain, juga tidak puas dengan hukum-hukum dan teori-teori yang juga dibuat orang sebelumnya. Salah satu alternatif adalah membuktikan sendiri hipotesis yang dibuatnya itu. Ini berarti orang harus merekam data di lapangan dan mengujinya sendiri. Kemudian data-data itu dihubung-hubungkan satu dengan lainnya untuk menemukan kaitan satu sama lain, kegiatan ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis tersebut dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis, yaitu hipotesis yang dirumuskan tadi.
• Concluding Belief, yaitu membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya, maka dibuatlah sebuah kesimpulan, dimana kesimpulan itu diyakini mengandung kebenaran.
• General Value of The Conclusion, yaitu memformulasikan kesimpulan secara umum. Konstruksi dan isi kesimpulan pengujian hipotesis di atas, tidak saja berwujud teori, konsep dan metode yang hanya berlaku pada kasus tertentu – maksudnya kasus yang telah diuji hipotesisnya – tetapi juga kesimpulan dapat berlaku umum terhadap kasus yang lain di tempat lain dengan kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan tersebut untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Proses maupun hasil berpikir refleksi di atas, kemudian menjadi popular pada berbagai proses ilmiah atau proses ilmu pengetahuan. Kemudian, tahapan-tahapan dalam berpikir refleksi ini dipatuhi secara ketat dan menjadi persyaratan dalam menentukan bobot ilmiah dari proses tersebut. Apabila salah satu dari langkah-langkah itu dilupakan atau dengan sengaja diabaikan, maka sebesar itu pula nilai ilmiah telah dilupakan dalam proses berpikir ini.
Contoh penaralan deduktif :
Semua manusia akan meninggal (premis mayor)
Bambang adalah manusia (premis minor)
Jadi : Bamabang akan meninggal (konklusi)
Contoh penalaran induktif :
Logam 1 memuai kalau dipanaskan (premis mayor)
Logam 2 memuai kalau dipanaskan (premis minor)
Semua logam akan memuai kalau dipanaskan (konklusi)
Hukum-hukum Penalaran
Perlu dipahami bahwa “yang benar” tidak sama dengan “yang logis”. Yang benar adalah suatu proposisi. Sebuah proposisi itu benar kalau ada kesesuaian antara subyek dan predikat. Yang logis adalah penalaran kalau mempunyai bentuk yang tepat, dan sebab penalaran itu sahih.
Dengan asumsi bahwa, bentuk penalaran itu sahih maka, hubungan kebenaran antara premis dan konklusi dapat dirumuskan dalam hukum-hukum penalaran sebagai berikut ;
Hukum pertama
Apabila premis benar, konklusi benar
Contoh :
Semua manusia akan meninggal
Bambang adalah manusia
Disini premis mayor dan monir benar. Oleh sebab itu konklusinya benar.
Hukum kedua
Apabila konklusi salah, premis juga salah
Contoh :
Semua manusia akan meninggal
Malaikat adalah manusia
Jadi : malaikat akan meninggal
Disini konklusi salah, sebab premisnya (kedua-duanya atau salah satunya) juga pasti salah. Premis mayor benar. Premis minor salah, sebab malaikat memang bukan manusia. Jadi, konklusi salah karena premis minornya salah.
Hukum ketiga
Apabila premisnya salah, konslusinya bisa benar atau salah
Contoh :
Malikat itu benda fisik
Batu itu malaikat
Jadi : batu itu benda fisik
Disini kedua premise salah tetapi konklusinya benar. Kalau premisnya salah dan konsklusinya salah, lihat diatas.
Hukum keempat
Apabila konklusi benar, premis bisa benar atau salah
Contoh : konklusi benar premisi salah, lihat contoh diatas. Konklusi benar, premise benar, lihat contoh pada hokum pertama.
III. PENUTUP
SIMPULAN
Berdasarkan dari pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa tes penalaran yaitu
• penalaran induktif dan deduktif dapat mengukur kemampuan yang penting untuk menyelesaikan masalah. Tes tersebut juga disebut tes penalaran abstrak atau tes gaya diagramatik. Tes penalaran induktif mengukur kemampuan untuk secara fleksibel menangani informasi yang tidak dikenal dan menemukan solusi. Orang yang nilainya baik dalam tes ini memiliki kemampuan besar untuk berpikir baik secara konseptual maupun analitikal dan sebaliknya.
• Sehingga suatu penalaran tidak akan rumit jika anda bisa mengetahui hukum-hukum penalaran dan lebih memudahkan dalam menghindari diri dari kemungkinan melakukan kesesatan-kesesatan penalaran.
• Empat hukum penalaran merupakan panduan untuk untuk mengukur hubungan logis anatara premis dan konklusi.
DAFTAR PUSTAKA
• Februari 2011. URL : http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/filsafat_ilmu/bab6-penalaran.pdf
• Februari 2011 URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran
• Februari 20110 URL : http://www.shldirect.com/in/inductive_reasoning.html
• Santoso, Slamet. 18 februari 2011. Penalaran Induktif dan Deduktif (Materi I). URL : http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/penalaran-induktif-dan-deduktif-materi.html
0 komentar:
Posting Komentar